RESMIBET...Bumi sudah menyelesaikan rotasinya. Sedang aku baru saja mulai membakar rokok terakhirku.
Aku masih tidak percaya, setelah apa yang aku alami selama 2 hari ini. Tanaman tanaman yang ada di taman seakan memandangi ku. Tapi mereka diam. Mereka tidak peduli.
Aku juga tidak peduli. Atau tepatnya tidak mau memusingkan hal itu.
Yang sudah berlalu biarlah berlalu.
Tiba tiba bayangan Cindy terlintas di benakku.
“Oh iya, ya. Katanya kemarin Cindy mau nelpon. Tapi kok ini gak ada suaranya sama sekali.”
Kubuka handphone dan membuka messanger app. Kulihat memang tidak ada chat dari Cindy. Lalu aku mengecek Instagram Story.
Benar saja. Cindy mengunggah beberapa video. Nampaknya ia sedang melepas rasa rindu dengan keluarganya.
Kulihat wajah Cindy yang selalu memamerkan senyuman manis itu. Dia Nampak bahagia. Tertawa lepas dan tidak memperdulikan apapun. Aku tak sedikitpun kecewa. Lagipula seharian ini aku juga sibuk.
10 menit berlalu, aku masih saja bermain dengan handphone ku. Tidak ada tanda tanda gejala kantuk merasuki tubuhku.
Aku yakin ini karena caffeine dari kopiku tadi. Tapi tak mengapa, hari ini masih libur, besok juga.
Satu hal yang mengusirku dari taman itu adalah rasa dingin yang ditiupkan malam. Kubereskan semua barangku. Aku melangkah pergi.
Setelah yakin semua pintu sudah terkunci dan semua lampu sudah mati, aku lalu berjalan ke kamar.
Mumpung sedang bebas, aku mau ngegame saja. Sudah beberapa hari ini aku tak menyentuh game ku.
Vania masih tertidur, dan masih tanpa busana. Sejenak aku diam terkesima. Wajah cantik tanpa make up itu membuat darahku berdesir.
Puting pink yang tegak karna dingin itu membuat adikku segera terbangun.
“Fuck it. I’m gonna play something different” Pikiranku teralihkan. Komputer yang hendak aku nyalakan itu langsung aku lupakan.
Aku mendekatinya. Vania sudah berada di dunia yang sepenuhnya miliknya sendiri. Sekarang mungkin dia sedang berenang di lautan terdalam atau melayang di langit tertinggi.
Pipi mulus itu kukecup sambil aku mengelus rambutnya.
“Sorry, Van.”
Aku naik ke kasur, lalu beranjak ke area pangkal paha Vania.
“Kemarin kamu nyiksa adikku pas aku masih tidur. Sekarang gantian aku yang nyiksa meki mu pas kamu tidur.”
Benda jahanam itu kuelus pelan. Vania menggelinjang pelan.
Aliran darahku langsung berenang menuju adikku. Tak lama adikku sudah tegak berdiri.
Jariku bermain main dengan vagina Vania. Mengelus elus dengan penuh perasaan. Lalu memasukkan jariku ke dalamnya.
Kulihat Vania mulai bergerak pelan. Mungkin dia sedang bermimpi sedang “main”.
Vaginanya sudah mulai basah. Kini giliran mulutku yang bertugas.
Kukecup pelan benda kecil itu. Tak butuh waktu lama mulutku langsung beringas. G-spot nya kutekan tekan dengan lidahku. Vania makin menggelinjang.
Cukup lama aku bermain main dengan sisi bawah Vania. Dan kini vaginanya makin basah karena air liurku dan cairannya sendiri.
Kumasukkan lagi jariku, namun kini sudah bertambah menjadi 2 jari yang memuaskannya.
Vania menggelinjang lagi. Suara erangan halus keluar.
“Nghhhhhhh”
Gerakkan jariku makin cepat. Vania menggelinjang parah
Serangan aku tambah dengan menciumi perutnya yang rata. Kini Vania sudah meluapkan segala suara kenikmatan.
“Ahhh. Aaaaaah. Hnggghhhhh. Dhito, kamu ngapain? Ahnggggg”
Mata Vania masih tertutup. Tapi pintu kenikmatan sudah terbuka lebar.
“Gantian, Van. Bentar aja kok”
Kepala Vania bergerak kiri dan kanan tak karuan. Tangannya meremas remas rambutku.
Aku tak tahan liat kepala Vania yang bergerak tak beraturan. Mulutku seketika menyambar mulutnya. Membuatnya tidak bisa menggerakkan kepalanya lagi.
Setelah kurasa vagina Vania sudah basah, kini giliran adikku untuk beraksi.
“Hngggg. Dhit.” Vania menatapku. Wajahnya sayu. Seakan tak mau menunggu
“Aku keluar di dalam ya, Van?”
Aku bercanda saja. Tidak mungkin saja aku menghamili sepupuku.
“Aaah. Terseraaaah. Hnggg.”
Mulutnya langsung kusumpal. Adikku bersiap.
*blesss*
Mata Vania terbelalak. Mulutnya membentuk huruf O.
“Aaaaaaah. Dhit, kamu kok ganggu orang tidur. Enghhh. Hngggg” Erangan halus Vania membuatku lebih bersemangat.
Kubiarkan adikku bermain main di dalam tubuh Vania. Membiarkan dia memberi kenikamatan pada Vania, serta pada dirinya sendiri.
Tanganku yang menganggur bergerak ke arah gumpalan favoritku.
Mereka memijat mijat payudara Vania. Lalu memilin putingnya.
Vania menahan nahan kenikmatan yang sedang ia peroleh. Dia memejamkan matanya. Tangannya masih saja meremas remas rambutku.
Kiranya dia ingin menjambakku karena sudah mengganggu tidurnya. Alih alih terganggu, kini ia seakan membiarkan aku mengganggunya terus.
“Hngggg. Dhit. Hnggggghghhhhhhh. Ciuuuuum.” Vania menjadi manja. Dia menyodorkan bibirku.
“Huum.” Tidak perlu diingatkan, bibirku sudah mendarat di bibirnya.
“Hnggghh. Emmhmhhhh.” Erangan Vania tertahan oleh bibirku.
Dia melampiaskan erangannya menggunakan tangannya.
Tangannya yang sedari tadi meremas rambutku kini sudah tak tentu lagi arahnya.
Mulai dari mengelus punggungku, mencubit cubit perutku yang sedikit buncit, dan juga meremas remas pantatku.
Vania nampaknya bosan dengan ciumanku. Dia melepasnya. Dia ingin berteriak.
Kini erangannya sudah ia lepaskan sepenuhnya.
“AAAAH. HMMMMMMM. HNGGGGG” Dia menggigit bibirnya. Menahan rasa sakit yang dicampur kenikmatan. “AHNGGGG. DHIT. DHIT.”
Kupandangi wajah cantik wanita ini. Kuhilangkan status “sepupu” yang tersemat di antara kami. Saat ini kuanggap dia sebagai fuck buddy saja.
*slurp*
Payudara yang bebas itu kulahap. Kuciumi karena gemas. Dan membuat sebuah tanda berwarna merah di payudara sebelah kanan. Sebuah tanda yang menunjukkan bahwa kami pernah bersama sama berjuang meraih orgasme.
Vania makin mengerang.
Bibirku menanjak naik. Aku menciumi sisi atas Vania. Bergerak naik dari payudara, leher, hingga kembali lagi ke bibirnya.
“HNGGG. EMHHHHH.”
Akhirnya eranganku beranjak keluar. “Hnggg. Emhhhh”
Aku membuang kaosku. Melemparnya sekenanya.
Adikku kusuruh memperlambat gerakannya. Aku ingin membuat suasana romantis.
Kini gerakan pinggulku sudah melambat. Lebih halus dari pertama tadi.
Kegiatan kami sudah beralih dari seksual, menjadi keromantisan.
Bibir kami masih beradu. Lengan Vania melingkar di leherku, memeluknya erat, seakan tak mau kehilangan aku.
“Hngggg. Ehmmm.” Erangan Vania berubah menjadi halus lagi.
Suara suara indah nan lembut itu membuatku melayang. Ciuman ini seketika menjadi ciuman terindah yang pernah ku alami.
Namun sayangnya ciuman terindah ini harus kulakukan dengan sepupuku. Sebuah kegiatan yang sedikit kemungkinannya akan terjadi lagi.
“Aaahh.” Vania melepaskan bibirnya. “Dhit. Ini kok cuman satu aja yang dikasih tanda? Satunya enggak?”
“Siap, laksanakan!”
Mulutku beralih ke payudara sebelah kiri. Kulahap dan kubasahi benda itu.
Tak lupa kugigit pelan putingnya, serta menghisapnya. Persis seperti bayi yang sedang nenen.
Tanda merah lain lahir di payudara indah itu.
Aku tak tahan lagi. Adikku kupercepat. Makin lama makin cepat.
“AAAAAGHHHHH. HNGGGGG. ADUH. AHHHHMMMMM.” Vania makin tak tahan.
“Ahh. Hnnggg. Ahgg. Van. Ehmmm.” Cengkraman benda jahanam di bawah itu membuatku merem melek.
Adikku sudah bergerak dengan tempo maksimal.
“HNGGHH. UDAH. DHIT. AYO. GAK. HNGGGHH. EMHHH.” Dia tidak melanjutkan kalimatnya. Mulutnya digigit sendiri. “ARGHHH. DHIT. KELUAR. KEL. HNGG. BARENG. AAAH. AAAH”
Nafas Vania sudah tersengal sengal. Bibirnya kulahap lagi.
*crot*
“Hnggghh. Emhhhh. Hihihihi” Vania mengakhiri erangan manjanya dengan tawa kecil.
Spermaku bercampur dengan cairan Vania. Kehangatan itu membuat adikku lemas. Dia beranjak tidur.
Kubiarkan untuk sementara dia tidur di taman bermain barunya.
Aku ambruk ke badan Vania. Keringat kami bertemu.
Vania memelukku sambil menciumi pipiku.
“Hngghh. Dhit, Dhito.” Elusannya memelan. Lalu membisikkan sesuatu “Kamu kok beneran keluar di dalem?”
Aku yang masih mengatur nafas serasa dihantam batu besar. Aku merinding dicampur panik.
“Asu, Van. Bangsaaaaaaaat.” Dalam pelukan Vania aku memaki diriku sendiri.
“Hihihih. Yaudah gapapa. Enak, kan?” Wanita ini malah tertawa.
Adikku aku keluarkan dari dalam tubuh Vania. Aku sedikit bangun dan menatap keheranan ke arah Vania.
Dia tersenyum. Dia tau aku panik.
“Van, kok kamu malah tenang? Bisa bisa kita nanti dihantam sama pakde, bude, pak lek, bulek, dan yang lain”
“Dhito. Tenang. Gapapa” Vania masih tenang.
“Van, kalo kamu hamil gim-“ Aku tidak bisa menyembunyikan panikku.
“DHITO. AKU BILANG GAPAPA! TENANG! JANGAN PANIK!” Aparat ini menyemprotku lagi. Dia meyakinkanku.
“Van…”
“Dhit. Beneran gapapa. Tenang. Nanti aku ceritain. Sekarang kita tidur, ya?” Senyuman itu sedikit membuat aku tenang.
Aku menatapnya dalam dalam. Tangannya melingkar lagi ke leherku.
Bibir kami bertemu lagi. Mengakhiri pertempuran malam ini.
Hangat sekali.
Posisiku kini sudah berubah. Aku merebahkan diriku di samping Vania.
Vania memiringkan tubuhnya lalu memelukku. Kepalanya disandarkan ke dadaku.
“Goodnight, Dhit.” Kecupan bibirnya mendarat di pipiku.
Kubalas dengan remasan halus di pantat bulatnya.
“BERHENTI, GAK?!” Vania membuka matanya dan menatap tajam.
“Hehehehehe.”
Badan lelah kami memaksa kami untuk segera tidur.
Tak butuh waktu lama untuk membuat kami berangkat ke alam mimpi.
06.00
Sinar matahari mengetuk jendela kamarku. Cahaya terang itu membuka paksa mataku.
Vania masih terlelap. Dia menghadap tembok dan membelakangiku. Gulingku saat ini masih menjadi miliknya.
Kulit kami masih terbebas dari belenggu kain. Sentuhan sentuhan dan pertemuan kulit kami sedari malam tadi menjaga kami dari rasa dingin.
“Van. Bangun, Van.” Aku menggoyang goyangkan badan Vania.
“Hngggg.” Dia menggumam kesal. Alih alih beranjak bangun, kini gulingnya makin erat dipeluknya.
Aku yang masih mengantuk tak peduli. Lalu aku mencoba memeluk Vania.
Lenganku masuk ke dalam ruang sempit antara perut dan guling itu. Seketika rasa hangat menyelimuti.
Perutnya yang mulus itu kuelus elus. Sesekali mencubit pelan.
Vania tidak merespon dengan suara, tapi dengan gerakan. Dia akan bergerak jika dua jariku mencubit perutnya.
Gerakan gerakan kecilnya itu menggeser lenganku semakin naik. Hingga akhirnya menyentuh payudaranya.
Keisenganku muncul. Serangan tangan yang awalnya kulakukan di perut, kini sudah berpindah.
Harta berharga Vania sekarang mendapat sentuhan hangat dari tanganku.
Aku mengelus pelan, menciptakan sebuah rasa hangat. Sesekali meremas lembut.
Hampir lama aku bermain main dengan Payudaranya. Hingga akhirnya aku menyerang putingnya juga.
Masih sama gerakanku, namun kali ini ditambah dengan gesekan gesekan di area puting dan sekitarnya.
Tiba tiba Vania mengerang. Halus dan lembut sekali suara yang muncul.
“Enghhh.” Erangannya membangunkan adikku. “Hnggh. Kamu ngapain. Emhhh”
Aku menambah serangan dengan menciumi lehernya, lalu turun ke punggung tanpa noda itu.
Kini yang memberi jarak antara pangkal pahaku dan pantat Vania adalah adikku.
Kuselipkan adikku ke belahan pantatnya. Memberikan kehatangan pada adikku dan pantat Vania.
Vania mengerang lagi. Suaranya masih halus, dan sekarang ditambah dengan perasaan manja.
“Ehmmmm. Kamu ganggu orang tidur terus ih. Hnggggh.” Suaranya masih manja.
Vania brengsek. Dia membuatku tak perlu bergerak.
Dia berinisiatif untuk memaju mundurkan pantatnya. Dengan senang hati dia mengocok adikku dengan pantatnya.
Hangat dan geli sekali, meskipun hanya di belahannya saja, tidak sampai masuk.
Selagi dia yang beraksi, aku masih melancarkan aksiku di payudara dan lehernya.
Setiap jengkal kulit putihnya itu tak luput dari perhatianku. Jikalau bisa, aku akan menciuminya dari atas sampai akhir.
“Hngghhhh. Aaaaah. Dhito gabisa berhenti nih aku. Ahhmmmm. Hnghhhhh.” Vania meracau.
“Gapapa, Van. Gausah berhenti kalo perlu.”
“Dhit, pagi pagi kok udah tegang sih. Kamu an- Aaaahhhhhng.”
Vania tak bisa melanjutkan racaunnya. Tanganku yang menggesek putingnya membuat dia tersentak.
“Ehmmmmm. Dhittttttt.”
Gerakkan pantat Vania makin cepat. Aku tak mau kalah.
Bibir dan tanganku makin meliar.
*crot*
Adikku muntah. Aku lemas.
Untuk beberapa saat, belahan pantat Vania menjadi tempat penitipan anak anak yang gagal berkembang.
“Aaaaaaaaah.” Aku mengerang puas. Tapi tanganku masih mengelus elus puting Vania yang sudah keras.
Sebuah senyuman muncul di wajahku. Aku tersengal sengal, tapi puas.
Di saat indah itu, Vania berbalik. Dia menatapku tajam. Mukanya marah.
Aku panik. Lalu dia bangun sedikit mengambil bantal yang ia gunakan untuk sandaran kepala.
“Masih pagi, ******!” Vania marah. Bantal yang awalnya berada di bawah kepalanya kini sudah ia gunakan untuk menutupi mukaku.
Mirip orang yang sedang mencoba membuat orang pingsan.
“AAAH. IYA IYA. MAAF. AGHHH. VAN. AMPUN. AAAAGHHHHH”
Permohonanku hanya dibalas dengan tatapan yang makin tajam.
Aku diam tak bergerak. Aku dimarahi lagi oleh seorang aparat.
Dia tak peduli, lalu beranjak turun dari kasur. Setelah itu dia memandangiku. Yang bisa kulakukan hanyalah memandanginya dengan wajah kebingungan.
Lagi lagi dia menyemprotku.
“Sekarang, bangun!”
“Eh, iya. Bent-“
“BANGUN!”
Aku turun dari kasur. Badanku lemas. Aku lalu merunduk malu.
Persis seorang junior yang sedang diplonco oleh seniornya.
“MANDI!”
“Eng. I.. Iya…”
“Main doang semangat. Bangung pagi enggak. Mandi!” Teriakannya diiringi dengan tatapan tajam, setajam silet.
Teriakan itu membangunkanku. Serta membuat aku melangkah ke kamar mandi.
Untuk pertama kalinya aku bangun pagi karena sebuah bentakan. Tapi aku tak mau repot repot memikirkan itu.
Aku menyalakan shower. Kuatur agar suhunya pas. Tidak terlalu dingin, serta tidak terlalu panas.
Tidak pernah aku langsung membasahi tubuhku. Entah kenapa aku akan selalu bernyanyi dulu.
Setelah cukup puas bernyanyi, aku akan melangkah masuk ke bawah pancuran air.
Aku berdiam diri. Membiarkan bulir bulir air membersihkan tubuhku. Segar sekali rasanya.
Setelah cukup basah, aku mundur sedikit. Mengambil sabun dan bersiap untuk menyabuni diriku sendiri.
*beg*
“Dhitoooooo. Hehehehehe. Kok kamar mandinya gak dikunci?” Setan cantik ini tiba tiba masuk ke kamar mandi dan memelukku dari belakang. Payudara yang kenyal itu menempel di punggungku.
“Apa?” Jawabku ketus
“Kaget yaaa dimarahin pagi pagi? Udah cocok belum jadi aparat?”
“Gak peduli.”
“Hihihihihi kok gitu?” Vania tertawa manja menggodaku. Lengannya makin erat memelukku. Serta mencubit cubit perutku. “Tadi masa gitu doang, Dhit? Lega emang?”
“HHHHHHHH.” Aku hanya bergumam kesal
“Ih, Dhito. Jahat bangeeeet. Adikmu kasian, lho. Masa tadi cuman nyelip doang? Dia pasti pengen ke dalem.” Vania makin memanja. Tangannya mulai bergerak ke pangkal pahaku.
Aku tak menjawab. Lebih tepatnya tidak bisa menjawab. Tangan halus Vania mulai menggenggam adikku. Perlahan lahan mengocoknya dan membuat dia bangun.
“Kan. Tadi dia belum lega, Dhit.” Pelukkannya dilepas. Kini dia sudah berjongkok di depanku. Masih menggenggam adikku dan sekarang seolah berbicara kepadanya. “Uluh uluh belum lega, ya, dek? Yaudah sini sama tante.”
Kepala adikku kini sudah berada di bibir manisnya. Sebentar saja adikku langsung dilahap.
Dia yang sedari tadi basah karena air, kini makin basah karena air liur Vania. Dia mengulumnya dengan teratur.
Menghisapnya pelan, lalu berdiam sebentar dan bermain main dengan lidahnya, lalu bergerak maju mundur lagi. Perlahan, tapi pasti. Dan membuatku merem melek lagi.
Shower aku matikan. Ruangan basah ini seketika hanya diisi dengan suara manja Vania.
“Hmmmm. Hmmmm. Enghhh. Aaaaah.” Dia mengeluarkan adikku, memainkannya dengan tangannya, sambil menatapku dengan binal.
Aku meremas payudaranya yang bebas, lalu setengah berteriak. “TERUSIN. JANGAN BERHENTI!”
“Hihihihihi. Siap, laksanakan!”
Vania melanjutkan kegiatannya. Gerakannya masih sama. Bergerak perlahan, lalu sebentar sebentar mendiamkan mulutnya dan menyuruh lidahnya yang bekerja.
Setelah puas menyuruh mulutnya, kini dia berdiri lalu menghadap tembok. Dia membungkukkan badannya. Kakinya yang jenjang terbuka. Memperlihatkan harta karun yang lainnya.
Aku bergerak maju. Kuciumi lehernya.
Kini jari jariku sudah menari indah di vaginanya. Mengelus elus dan sedikit memasukkan jariku, yang langsung membuat Vania tersentak dan mengerang pelan.
“Aaaaah. Hnggggh.” Vania mendongakkan kepalanya. Mengeluarkan erangannya, seakan serigala yang sedang meraung di bawah sinar bulan purnama.
Adikku siap untuk bertempur lagi. Aku meremas manja payudara Vania. Membuatnya mengerang lagi.
Untuk sementara, aku akan menggodanya. Adikku tidak langsung masuk, aku biarkan dia menggesek gesek vagina Vania. Lagipula, aku mencoba untuk membuat Vania basah terlebih dahulu.
Vania tidak tahan dengan gesekkan itu, tapi adikku tidak peduli.
“Dhit, enghhh.”
“Iya, sayang?” Aku masih saja menggesek gesek vaginanya.
“Hnggh. Dhit. MASUKKIN SEKARANG!” Vania menggertak. Aku tak bergeming. Adikku masih bergerak menggodannya. “Hnggg. Aaah. Dhito. CEPETAN. MASU- AAAAaaaaaah. Hnggggghhhh“
*bles*
Vagina Vania kini sudah terisi. Cairannya memudahkan adikku untuk bergerak. Setiap gerakkan membuat ia tersentak. Kakinya makin melebar. Badanku yang mulanya basah karena air kini basa karena keringat.
Aku menggarap Vania tanpa ampun. Tidak memberikan gerakkan yang teratur, membuatnya makin meraung.
“AHHNNGGGGG. ENGHHHH. AAAAH AH. AH. AH. HNGGGG.” Vania meringis menahan nikmat.
“Van. Ehngg. Aaaah. Hmmm. Sampe kapan. Ah. Hnghh. Kita gini terus?” Tanyaku sambil meremas remas payudaranya.
“AHNNGGG. GAK. TAU. DHIT. AHHH. EMHHH. EHHHH.”
Sebentar saja Vania sudah “kencing” lagi. Cairannya membuatku makin mudah menggarapnya.
Dia mendongakkan kepalanya dan menghadapku.
“DHIT. KELUAR. AKU. UDAH. HNGGHHH. AKU UDAH. AAH. AH. AH. KELUAR. AHHNGGGGHH.”
Erangan Vania hanya kubalas dengan mencium bibirnya. Kini erangannya sedikit teredam.
Tangannya bergerak tak beraturan. Kadang terkepal, kadang mengelus elus tembok, kadang meremas payudaranya sendiri.
Aku memperlambat tempoku. Membiarkan dia bernafas sebentar. Dia masih tersengal sengal.
Tanpa aba aba, aku mempercepat kembali gerakanku. Aku sudah bosan dengan payudaranya, kini aku bermain main dengan pantatnya.
“DHITO. AHHHHH. KIRA- AHHNGGGGG. EHMMMMMMM. KIRAIN SELESAI. AH. AH. AH. AHHNGGG.”
Badannya bergoyang hebat. Payudaranya bergerak naik turun tak beraturan. Serta erangan halusnya memekakkan telingaku.
Hampir lama aku mengerjai Vania. Adikku sudah lelah. Kali ini dia tidak bisa bertahan lama. Ketika kurasa sudah diujung tanduk, langsung kucabut adikku dan mengotori punggungnya.
“Enghhhh. Vaan. Aahhh.”
“Aaah. Dhit. Lemes. Hnghhh.”
Aku memeluk Vania. Adikku masih terselip di pahanya. Punggungnya menjadi sasaran bibirku. Payudaranya yang bebas kembali aku elus dan remas remas.
Vania masih tersengal sengal. Mencoba untuk mengatur nafasnya.
“Kamu gila, Dhit.”
“Kok aku? Yang tiba tiba masuk siapa?” Aku mencubit perutnya sangat keras.
“Aaaah. Aduh, aduh. Iya iya. Udah mandi sanaaa!”
Shower aku nyalakan kembali. Kini kami bermain main di bawah kehangatan air.
Saling menyabuni satu sama lain. Beberapa kali menggoda satu sama lain. Persis seperti waktu kami masih kecil.
08.00
Kini kami sudah berpakaian lagi. Tapi aku hanya memakai boxer tanpa CD dan kaos, sedang vania hanya memakai CD dan tanktop saja. Vania juga sudah memasak makanan untuk kami sarapan.
Kami duduk di sofa dan memanjakan perut. Diiringi dengan obrolan obrolan ringan. Setelah habis, kami hanya menaruh piring piring itu di meja tengah.
Obrolan kami awalnya hanya sebatas keluarga, masa kecil kami, sekolah, pekerjaan, dan sampai di mana kami bertukar cerita tentang kehidupan “gelap” kami.
Aku bercerita tentang Cindy. Dan Vania menganggap aku gila karena berani melakukan kegiatan seksual di tempat umum, terlebih lagi di tempat kerja.
Lalu sampai giliran Vania bercerita.
Dia menatap keluar. Tatapannya kosong. Dia menarik nafas panjang.
Berawal dari 2 tahun lalu. Saat itu dia didekati oleh Aparat pria berpangkat tinggi yang sudah menduda. Seorang duda yang selama hidupnya tidak mempunyai anak karena takdir harus merenggut istrinya dari dunia, sebelum mereka dikaruniai seorang anak. Menurutnya, pria itu ganteng dan berwibawa. Vania terpikat. Ditambah dengan sikap pria itu yang sangat mengayomi Vania. Tidak hanya sebatas senior ke junior, tapi lebih ke ayah dan anak. Vania akhirnya luluh. Terlebih sedari SMP Vania sudah kehilangan kasih sayang seorang Ayah.
Dia bercerita bahwa kali itu dia benar benar merasakan sosok Ayah yang sebenarnya. Ayah yang mengayomi, yang selalu ada di sampingnya, sesuatu yang tidak bisa didapatkan dari Ayah kandungnya sendiri.
Kini dia merebahkan diri di sofa. Dengan menggunakan pahaku sebagai bantalnya. Dengan lembut aku mengelus elus rambutnya. Lalu dia melanjutkan ceritanya.
Long story short, mereka berkencan. Mereka backstreet. Tidak membiarkan seorang pun tahu. Niatnya, mereka akan mengejutkan rekan rekannya dengan langsung menggelar acara lamaran.
Pada suatu malam, mereka memutuskan untuk menginap di sebuah hotel. Niat awalnya hanya cuddling. Namun apadaya. Nafsu mereka liar, tidak bisa dikontrol. Vania nurut saja. Pikirnya ketika itu, dia akan dinikahi oleh seniornya ini.
Malam itu, Vania melepas keperawanannya.
Vania bercerita, malam itu tidak ada rasa penyesalan dalam dirinya. Yang ada hanya rasa nikmat, puas, dan makin mendalam perasaannya ke duda itu. Pada ronde pertama, mereka tidak melakukannya lama. Karena itu pertama kali untuk Vania, dia masih merasa kesakitan. Ketika sudah mereda, mereka melanjutkan kegiatannya lagi. Sampai beberapa ronde, bapak Aparat ini keceplosan. Dia menanam benih benih ke dalam tubuh Vania.
Awalnya Vania takut. Tapi karena tahu mereka akan menikah, rasa kaget dan takut itu menghilang. Setelah itu, Vania hanya menunggu gejala gejala kehamilan. Karena ketika dia sudah ada gejala hamil, maka dia akan minta segera dilamar.
Sehari, dua hari, seminggu, hingga akhirnya satu bulan. Tidak ada gejala gejala yang nampak. Vania keheranan. Tak menunggu lama, dia bercerita pada pria itu. Vania yang awam, serta pria yang tidak pernah mempunyai anak itu tidak menemukan jawaban. Hingga akhirnya mereka pergi ke dokter kandungan. Menutupi titel aparat yang tersemat, mereka mengaku bahwa mereka adalah ayah dan anak.
Setelah dokter selesai memeriksa, mereka akhirnya mendapat jawaban yang pasti.
Namun, hidup mereka tidak akan sama lagi.
Vania dinyatakan mandul.
0 Komentar