RESMIBET...*drrrt* *drrrrrt* *drrrrrrrtttttt*
*sluurrp*
*drrrt* *drrrrrt* *drrrrrrrtttttt*
*sluurrp*
“Engghh. Enggggghhhh” Suara erangan wanita mencoba membangunkanku.
Mataku belum full membuka. Begitu juga dengan nyawaku yang masih belum penuh.
Pagi ku dibangunkan oleh kebingungan. Bingung antara telepon masuk di handphoneku, atau sensasi hangat di pangkal pahaku.
*drrrrrt*
*Incoming call Pakde Sugeng*
Pakde Sugeng, papa Vania menelpon. Awkward.
Aneh juga jika aku mengangkat telepon pakde Sugeng, sedangkan anaknya, seorang wanita kebanggaannya, sedang bermain main dengan penis pria dewasa yang bukan suaminya.
“Halo, pakde? Aku baru bangun” Aku mencoba berbicara dengan pakde. Dengan nyawa yang belum penuh, serta dengan menahan segala sensasi kenyamanan di bawah sana.
“Duh. Mentang mentang libur. Udah siang ini”
“Walah, pakde. Masih jam 7. Kenapa pakde?”
“Vania mana? Kok pakde telepon gak ngangkat”
“Engh. Aaaah” Tanpa sadar aku mengerang pelan.
“Heh, kenapa kamu?”
Aku gugup. “Engg, enggak, pakde. Biasa, abis ngulet. Engg, itu. Kayaknya Vania masih mandi, pakde.”
Tidak. Vania tidak sedang mandi. In fact, dia sedang “memandikan” adikku.
“Hoalah yaudah. Tolong bilangin kalo pakde bude gak jadi pulang hari ini. Ada tugas dadakan ke Kupang. Pagi ini langsung berangkat. Titip Vania dulu. Bilangin Senin baru dijemput. Yaudah gitu aja. Pakde mau boarding”
“Engghh. Iya. Pakde. Nanti aku kasih tau. Si. Vania” Mulut Vania membuatku terbata bata.
*tuuuuuuuut*
Mulut kecil Vania masih bermain main. Tangannya membantu melancarkan aksinya. Mereka bersatu untuk menghajar adikku.
“Aduh, Vaan. Arghhh. Aah. Hnggg” Aku meracau tidak karuan. Yang bisa kulakukan saat ini hanya meracau dan memainkan rambut Vania.
Vania masih belum berpakaian. Nampaknya dia juga baru bangun.
Payudaranya menggoda. Dengan sigap tanganku beralih dari rambut ke payudaranya.
Tanganku sekarang bermain dengan bola bola favoritku. Tidak jelas kekuatan remasanku. Kadang lembut, kadang keras.
“Van. Ahhhh”
“Hnggggg” Vania hanya menjawab dengan erangan. “Hnggg. Aaaaah”
Vania melepaskan mulutnya. Mengocok adikku dengan lembut, lalu tersenyum.
Sesaat, aku terkesima dengan senyumannya. Kali ini entah kenapa tidak terlihat senyuman binalnya. Hanya senyuman sangat manis yang keluar dari wajah cantiknya.
Dia melanjutkan lagi aktivitas mulutnya.
Dimasukkan lagi adikku ke mulutnya. Kini kepalanya naik turun semakin cepat.
Aku mengerang makin tak karuan. Payudaranya semakin keras pula aku remas.
“EGHHHH”
*crot*
Vania tidak bergerak.
Secara perlahan dia melepaskan adikku. Spermaku sedikit meluber dari bibir sexy nya.
“Hihihihihi” Kini wanita ini tertawa kecil sambil mengusap ngusap sisa sperma yang masih menempel di sekitar bibirnya.
Dia bergerak turun dari kasur. Membuka kopernya dan mengambil handuk, serta peralatan mandi lainnya.
What a nice thing to start my day
08.30
Kami semua sudah mandi. Duduk depan TV sambil menonton video tidak jelas yang ada di youtube.
Makanan yang dimasak Vania sudah siap kami lahap. Nasi putih, ayam goreng, bumbu pecel, dan kerupuk.
Aku tidak tahu darimana dia mendapatkan bumbu pecel. Yang pasti, ini enak sekali.
“Kamu gak cuman ngulek adik aja ya yang pinter. Ngulek bumbu pecel juga pinter”
Wadah kerupuk langsung mendarat di badanku. Vania tidak peduli meskipun berantakan, dia lalu melanjutkan makannya
“Eh, tadi papa nelpon kenapa?”
“Cuman ngabarin aja. Katanya gajadi jemput hari ini. Senin besok baru dijemput. Orang tua mu tugas dadakan ke Kupang. Tadi abis nelpon langsung boarding”
Muka cantik Vania langsung terlipat. Dia langsung murung. Diletakkan begitu saja piringnya di meja. Aku panik
Orang tua Vania adalah peneliti senior di Lembaga yang mengelola flora dan fauna. Mereka sering sekali berpergian ke luar kota, bahkan ke luar negeri juga. Sama seperti orang tuaku. Bedanya, orang tuaku sebulan sekali perginya, sedangkan orang tua Vania sebulan sekali berada di rumah. Itupun hanya 5-7 hari saja. Dan ada beberapa momen yang orang tua Vania hanya sehari dua hari saja di rumah.
Vania berdiri. Pipinya basah.
Dengan sigap kutaruh piring di meja. Aku menghampirinya dan langsung memeluknya.
“Ayo dong. Kok nangis. Gak boleh nangis he. Aparat harus kuat, gak boleh nangis” Aku mencoba menenangkannya.
Pelukan Vania makin kencang, begitu juga dengan tangisnya. “Aku ada kesempatan pulang seminggu, pengenku biar ketemu lama sama mereka. Janjinya hari ini dijemput. Janjinya bakal ninggalin kerjanya seminggu. Kok sekarang malah ke Kupang”
“Kan mereka kerja. Demi kamu sama adek mu. Mereka begitu dari lama, sekarang liat hasilnya. Kamu udah jadi aparat. Adekmu kuliah di London” Aku masih berusaha menenangkannya
Tangisnya makin menderu.
Aku kebingungan.
Aku bisa merasakan kesedihannya. Aku bisa merasakan tangisnya.
Vania sebenarnya berempat di rumah. Dia, adik lelakinya yang berusia 3 tahun di bawahnya. Serta orang tuanya. Namun apa daya, semenjak dia SMP. Orang tuanya sudah mulai berpergian ke sana ke mari. Meninggalkan Vania dan adiknya di rumah. Orang tuanya sudah menyiapkan segala sesuatu ketika mereka mulai sibuk. Dari pembantu, supir, serta orang kepercayaan yang selalu menjaga rumahnya ketika malam hari. Masalah uang, tidak perlu takut. Selalu mengalir. Antara uang jajan dan uang dadakan, nominalnya sama sama besarnya.
Tapi semua itu masih terasa kecil oleh anak anaknya.
Mereka harusnya tau kalau anak anaknya membutuhkan mereka, tidak hanya harta benda saja.
Jika dalam masa libur sekolah. Maka Vania dan adiknya akan sering berkunjung ke rumah saudara. Salah satunya adalah rumahku. Tidak sekali dua kali aku melihat wajah cemburu dari Vania dan adiknya ketika melihat aku atau saudara yang lain sedang bercengkrama dan bercanda dengan keluarga.
Mamaku sering memarahi kakaknya agar Vania dan adiknya sekolah di kotaku saja. Tapi mereka selalu tidak mau. Takut merepotkan katanya. Dan akhirnya ibuku bosan memarahi kakaknya.
Coba tebak kenapa Vania lebih memilih menjadi aparat, dan adiknya memilih kuliah di London? Ya. Karena mereka sudah cukup dewasa. Mereka sudah bosan ditinggal orang tuanya. Akhirnya mereka membalasakan dendam mereka.
Balas dendam yang salah.
Sekarang Vania sudah menjadi aparat yang sibuk, yang sering bertugas ke sana ke mari, begitu juga dengan orang tuanya. Serta adiknya yang saat ini menempuh pendidikan di London. Makin kecil intensitas keluarga ini bertemu dan bercanda.
Dan yang aku tahu, rumah Vania tidak pernah kosong. Pembantu dan supir mereka masih ada di rumah itu. Sungguh loyal sekali.
“Kalo gini kan percuma aku pulang” Vania masih saja menangis
“Ya enggak lah. Kan Senin nanti dijemput. Udah ah jangan nangis. Kaosku basah ini. Iya kalo kena air mata, lha ini kena ingusmu juga” Kulepas pelukanku. Aku mengajak dia duduk di sofa. “Udah ya. Stop nangisnya.”
Aku mencoba menghibur Vania. Mencoba menularkan senyumnya ke dia.
Dia tersenyum kecut. Tangisannya sudah mereda. Sekarang dia duduk bersandar. Pikirannya sudah melayang entah ke mana.
Piring dan peralatan makan lainnya segera ku bereskan. Ketika kembali ke Vania aku sudah membawa air putih dingin dan tisu.
“Monggo, ndoro. Diminum dulu” Aku masih mencoba menghiburnya
Dia tersenyum. Kali ini senyumnya sangat manis.
Vania membalas hiburanku dengan kecupan manis di pipi.
Aku tak peduli. Kubiarkan dia menenggak minumnya, sambil aku bersihkan sisa air mata dengan tisu.
Gelasnya ditaruh di meja. Mata kami bertemu. Lalu sebentar saja kami berciuman.
Manis sekali rasanya.
“Ayo jalan jalan” Mata dan suaranya yang sayu menghipnotisku
“Yaudah sana cuci muka trus ganti baju. Males banget jalan jalan sama anak baru nangis. Yang ada aku dikira nyulik kamu” Aku segera berdiri dan menuju kamarku.
10.00
Kami sudah siap. Mobil sudah menyala. Tinggal menggeser kopling serta menginjak gas, maka kami akan meninggalkan istanaku.
“Mau ke mana?”
“Terserah” Jawab Vania tidak peduli sambil memainkan handphone nya.
Vania kembali sexy. Celana hitamnya mencetak kaki jenjangnya. Atasannya dibalut dengan tanktop putih dan cardigan hitam.
Damn.
Aku mencoba tenang. Untuk saat ini, fokusku hanya menghibur wanita yang sebenarnya cengeng ini, namun selalu mencoba tegar dengan kerasnya hidup yang dihadapinya.
Kulaju mobilku ke arah tol. Aku berencana mengajak dia berkeliling kota sebelah.
17.00
Sudah seharian ini Vania aku ajak berkeliling kota ini. Kami sudah berkunjung ke banyak tempat. Sudah tak tentu lagi arah mobil ini berjalan.
“Nonton yuk”
“Hah? Nonton apa?”
“Nonton ini aja”
“Film apa itu?”
“Gak tau deh. Liat nanti aja sih. Ini semua film yang ada di bioskop udah aku tonton semua di Makassar”
“Bayarin ya. Gantian”
“Iya gampang. Eh tapi nonton di mana?”
“Kalau di sini sih mall paling deket ya Mall A”
Vania lalu sibuk dengan handphone nya. Kiranya dia sedang mencari film yang akan kami tonton.
“Udah nih. Langsung yang jam 17.45. Cepetan ngebut”
“Siap, laksanakan!” Mobil lalu kulajukan ke arah mall tersebut.
Tidak butuh waktu lama. Hanya 10 menit saja kami sudah sampai di sebuah mall elit di kota ini.
Kami berjalan memasukki mall. Sangat ramai. Aku baru ingat ini long weekend.
Kulihat orang orang yang di sana sangat wow. Pria, wanita, tua, muda, semuanya tampil modis.
Vania bagiku cantik, ditambah dengan badan sexy nya, tapi tidak ada pria lain yang memandangi dia. Lagipula buat apa memandangi Vania? Sedangkan pria pria di sini gandengannya lebih cantik dari Vania.
Berbeda jika aku membawa Vania masuk ke mall yang ada di kotaku. Tidak hanya memandangi, bisa bisa Vania diikuti oleh mereka.
17.40
Kami memasukki bioskop. Hanya beberapa orang yang ikut masuk.
Yang mengherankan, kami dapat kursi row A, di atas sendiri. Ini long weekend, dan Vania membeli tiketnya last minute.
Kami berada di atas tengah. Kulihat kanan kiriku, kosong. Satu baris di dalam sini, hanya ada kami berdua. Sisanya berada di bawah.
18.00
Sudah hampir 30 menit film berjalan, tapi bioskop masih sepi.
Sekarang aku tidak heran. Ternyata film ini sangat tidak jelas. Aku bahkan tidak tahu sedang menonton apa
“Van, kenapa milih film ini sih? Film gak jelas gini” Aku berbisik pelan ke Vania
“Hihihihih biarin lah. Anggep aja membantu karya bangsa” Vania tertawa pelan lalu memeluk lenganku.
Kini lenganku dimanjakan dengan sentuhan hangat payudaranya.
Aku merasakan kekenyalan itu. Vania memelukku makin erat.
Sesaat mata kami bertemu.
Kami berciuman lagi.
Entah bagaimana sekarang tanganku sudah memasukki tank topnya. Memberikan kehangatan sesaat ketika tanganku bertemu dengan perut Vania.
Tanganku bergerak semakin ke atas. Vania pasrah. Kami sudah tidak memperdulikan film ini.
Aku meremas pelan payudara Vania. Samar samar kulihat Vania memejamkan matanya.
Bibir kami bertemu. Saling membasahi satu sama lain.
Sekarang tangan kami tidak ada yang berdiam diri. Tanganku di payudaranya, tangannya sudah menggosok pelan pangkal pahaku.
Seakan akan dia sedang menggosok lampu ajaib, dan memanggil jin kecilku untuk keluar.
“Van, pulang aja yuk?”
Aku mengajaknya pulang, karena:
1. Filmnya tidak jelas
2. Aku sudah tak tahan
“Yaudah ayo, Dhit.”
Kami segera berdiri lalu bergerak keluar dari bioskop.
18.20
Sebenarnya ini masih sore bagiku. Namun menurutku lebih baik pulang saja.
Belum ada 10 detik pantat kami bertemu dengan jok mobil, tangan Vania sudah mencoba membuka celanaku.
“Eh eh, Van. Jangan di sini. Kamu gak lihat ini lagi rame?”
“Hihihihihihi” Vania hanya tertawa kecil, dengan tetap meremas remas adikku dari luar celana.
Mobil kukebut. Aku susah fokus, hanya karena tangan Vania yang sedikit nakal.
Sesampainya di jalan tol, aku meminggirkan mobilku.
Kaca aku buka sedikit, serta kunyalakan lampu hazard.
Tol ini adalah tempat yang sangat tepat untuk kondisi mendesak seperti ini. Jalanannya gelap. Ditambah lagi entah kenapa sangat jarang kendaraan yang lewat.
“Ngapain, Dhit?”
Aku diam. Tapi kini celanaku sudah melorot. Adikku yang dari tadi terkurung, kini sudah merdeka.
“Nih, biar enak sekalian.”
“You know me so well, Dhit.” Suara sexy nya makin membangunkan adikku.
Dengan kerelaan Vania ikut membuka celananya. Menampakkan lipatan indah itu.
Mobil kujalankan lagi.
Kini hanya perlahan. Tidak ngebut seperti tadi.
Tangan Vania sudah bermain main dengan adikku. Meremasnya, memijatnya, hingga akhirnya mulutnya yang bertugas.
Aku berusaha fokus menyetir. Meski terkadang ada kalanya aku sedikit oleng karena mulut Vania yang sangat mahir.
Tiba tiba Vania berhenti. Dia memandangiku dengan raut muka marah.
“Terus percuma dong aku buka celana?”
“Oh iya ya. Eh, tapi kan aku lagi nyet-“
“Gak peduli!”
Aku pasrah. Aku benar benar dimarahi oleh seorang aparat.
“Siap, laksanakan!”
Mobil sudah aku set ke gigi 4, berjalan pelan, dan berada di lajur kiri. Pikirku agar tidak repot repot memindahnya.
Badan Vania langsung menggelinjang ketika jariku bertemu dengan vaginanya. Dan aku langsung sedikit oleng ketika mulutnya mulai membasahi adikku lagi.
Aku tau, sebentar lagi kami sudah harus keluar dari pintu tol.
Gerakkan jariku sudah dalam posisi maksimal.
Masih satu jari.
“Enghhh” Erangan Vania masih pelan.
Kutambahkan satu jari lagi.
“Enghhhhhhhhh” Masih pelan, tapi mulai panjang
Terakhir, total 3 jari yang memuaskan birahinya.
“ENGHHHH. ENGHHH. ENGHHHH” Erangan Vania sudah tak beraturan. Begitu juga dengan mulutnya. Tidak jelas pula tempo kulumannya
“EEGNNNHHH. HMMM. ENGHHHHHHHHHH”
Mobilku penuh dengan suara Vania.
Adikku sudah kegelian dengan tempo permainan tak beraturan yang diberikan Vania.
Aku dan adikku sudah tak tahan.
“Van, keluarin bareng ya. Udah mau nyampe nih”
“He eh”
Vania mempercepat permainannya. Tanganku tak mau kalah
Tanganku terasa basah. Deras sekali air kenikmatan yang dikeluarkan Vania. Begitu juga denganku.
Muntahan yang dikeluarkan adikku langsung ditampung Vania. Lalu kami sama sama mengerang puas.
“Ahhhhhhhh”
“Hnggggg”
Sialan. Sekarang tangan kiriku seperti mati rasa.
Mobilku sudah mendekati pintu tol. Tapi celanaku masih melorot, masih memperlihatkan adikku yang sedang tertidur pulas.
“Woy pake dulu celananya hahahaha” Vania menggodaku
“Ribet, su. Biarin lah”
Untung saja sekarang pintu tol sudah otomatis. Aku tidak perlu repot repot merapikan celanaku kembali.
Kini aku sekarang sudah bisa fokus mengemudikan mobil ini. Sampai sampai aku masih sempat memutar lagu.
19.30
Kami sudah sampai di depan rumah. Lalu kuminta Vania turun untuk membuka pagar.
Aku tidak mau kerepotan lagi. Celana kulepas sekalian.
Setelah pagar tertutup lagi, aku keluar dari mobil, tanpa memakai celana.
Vania hanya tertawa.
Kami masuk ke kamar. Aku merebahkan diriku di kasur. Sedang Vania membongkar isi kopernya.
“Siapa dulu yang mandi, Van?”
“Kamu aja duluan”
“Apa barengan aja, Van?”
“Males. Aku mau self-care dulu. Pasti lama”
Sedikit kecewa sebenarnya. Tapi tak mengapa.
Kulepaskan kaosku. Lalu berjalan ke kamar mandi. Sebentar saja melangkah, aku berhenti lagi.
“Eh, Van. Bikinin kopi dong hehe” Sebuah permintaan yang tidak serius.
Tidak dijawab oleh Vania. Malahan dia hanya memandangiku dengan tatapan marahnya.
Aku tertawa kecil.
19.45
Kini aku sudah segar kembali. Hanya memakai boxer tanpa CD, dan kaos oblong.
Aku duduk di kasur. Kulihat ada beberapa chat dari temanku. Belum sempat membuka chat tersebut, kulihat Vania masuk ke kamar.
Masih menggunakan tanktop putihnya, tapi celananya sudah tidak ada, berganti dengan handuk yang sudah dililitkan ke perutnya.
Aku keheranan, bukan karena pakaiannya. Namun karena sebuah gelas yang dibawanya.
“Nih kopinya”
Damn! Permintaanku benar benar dikabulkan oleh dia.
Segelas kopi hangat sudah mendarat di meja kamarku.
“Mantap. Dibikinin beneran dong”
“Apaan sih”
Vania melangkah keluar kamar.
“Thanks, baby.” Dan sebuah tamparan halus mendarat di pantatnya.
Dia tidak peduli, tetap melanjutkan langkahnya.
Kuseruput sedikit kopi ini. Membiarkan zat zat caffeine merasuki tubuhku.
Nikmat sekali.
*drrrrrt*
*Hakim sent a message*
Segera kubuka chat dari temanku ini, yang tadi sempat terhenti karena Vania.
“Dhit, kamu di mana sih? Dichat daritadi kok gak respon?”
Aku ingat. Malam ini aku harus menyelesaikan lagu dengan gitarisku ini. Meskipun sebenarnya tidak perlu, karena kemarin malam sudah aku selesaikan. Tapi tak mengapa.
Untung saja sekarang sudah ada teknologi. Meskipun Hakim sedang di Jakarta, tapi kami masih bisa berlatih bersama.
“Bentar, broooooo. Seharian ini ada urusan. Bentar bentar. Nanti jam 9 aku telepon. Aku makan dulu.”
“Wooo, asu. Yaudah. Nanti langsung telpon aja”
“Siap, broooooo”
Alat tempurku kunyalakan. Agar nanti tidak repot menyalakan lagi.
Aku lalu memesan makanan. Langsung saja memesan dua porsi. Pikirku Vania pasti lapar juga. Kalaupun tidak, bisa buat besok pagi.
Vania masih di kamar mandi. Memang benar apa yang dia katakan. Mandinya bakal lama.
20.00
Akhirnya makananku datang. Aku menghampiri salah satu pahlawan tanpa tanda jasa ini.
Ketika aku kembali masuk, kulihat Vania sudah duduk manis di ruang tengah sambil memainkan handphone nya.
Yang menarik, kali ini dia hanya memakai CD dan tanktop saja. Tanpa bra.
“Ini makan dulu”
“Yeaaaaaay. Padahal aku mau ngajak beli makan”
Kami memuaskan perut. Diselingi dengan obrolan dan candaan kecil. Yang kebanyakan membahas masa kecil kami.
Setelah apa yang kami lakukan dua hari ini, aku hampir lupa kalau Vania ini adalah sepupuku.
10 menit kemudian kami sudah selesai makan. Disertai kopi buatan Vania, obrolan kami masih berlanjut.
Dari masa lalu kami, pekerjaan kami, kisah asmara kami, sampai hal remeh temeh seperti kenapa ayam kalau berkokok matanya merem?
Ada yang tahu?
Karena sudah hafal liriknya
*drrrrrrt*
0 Komentar