RESMIBET...Akhirnya nemu juga ide buat bikin endingnya” Gumamku puas

Semua peralatan tempur aku nyalakan. Komputer, keyboard, dan amplifier. Segera kumainkan nada nada yang sudah dibentuk oleh sel sel otakku tadi. Sudah seminggu aku kebingungan mencari ide untuk ending lagu baruku ini. Lalu tiba tiba saja hanya karena teringat Vania aku langsung menemukan ide baru.

Segera kutulis nada nada tersebut. Memainkannya lagi, merekamnya, mendengarnya, lalu mengkoreksinya.

“Ah, harusnya yang ini pake C#m7/F aja” Gumamku senang.

Aku lalu merekamnya dari awal sampai akhir. Aku sampai tak memperdulikan gulingku yang saat ini sedang dipeluk oleh tubuh indah Vania.

“Fyuh. Akhirnya. Gini kan enak, jadi gak kepikiran lagi”

*drrrrt* *drrrrrt*

*Incoming call +6281200000000*

“Halo?”
“Halo, pak. Ini saya yang nganter makanan. Ini saya sudah di depan rumah”
“Oh, iya. Sebentar, pak”

Lagu sudah selesai, makanan sudah dateng. Pas!
Segera aku berlari ke depan rumah dan mengambil makananku
Tidak butuh waktu lama juga untuk aku menghabiskan makananku.

“Ngerokok itu biasa. Tapi kalo abis makan ngerokok, itu baru luar biasa” Aku meracau gembira. Entah karena laguku sudah selesai, atau karena aku sudah kenyang. Atau kombinasi ke duanya

Aku bersantai di ruang tengah sambil menonton YouTube di TV. Agak lama aku terhipnotis oleh penampilan konser band favoritku

“Kapan bisa punya lagu kaya gitu terus pas main yang nonton orang se dunia” Aku melamun lagi

22.30

Band favoritku menghipnotisku, dan membuatku tertidur sebentar. Aku segera bangun. Pagar depan dan pintu rumah aku kunci.

Aku berfikir sebentar. Kasur ku kecil. Bakal sempit. Ruang gerak tidak akan banyak. Tapi juga tidak mungkin aku tidur di ruang tengah ini. Tidak akan pernah nyaman. Yang ada aku akan sedikit sedikit bangun.

Tidak ada pilihan lain

Aku masuk ke kamarku. Vania masih memeluk gulingku, dan masih menghadap tembok. Celana dalamnya sedikit mengintip dari boxernya.

Ah sial.

Lampu aku matikan. Lalu secara perlahan aku naik ke kasur dan mulai berbaring. Kumainkan sebentar handphoneku, mencari hiburan di reddit dan twitter. 10 menit berlalu, mataku sudah lelah. Aku sudah tidak bisa konsentrasi. Handphone ku letakkan di meja samping kasur.

Aku mencoba terlelap. Kupejamkan mata rapat rapat

Tidak bisa. Nihil.

“Asu, lha gulingnya dipake Vania” Aku marah dalam hati.

Otakku dongkol. Aku akan susah tidur kalau tidak ada guling.
Aku mencoba merebut guling dari Vania

“Hmmm” Vania menggerutu dalam tidurnya. Pelukannya ke guling semakin erat
“Van, Van. Guling dong” Aku mencoba menggoyang goyangkan badan Vania

Dia kekeuh. Malah menggerutu lebih kencang, “HMMMMM”

“Yah, Van” Aku pasrah.

Pilihannya hanya dua. Bantal tanpa guling, atau guling tanpa bantal. Dua duanya tidak mengenakkan. Aku pilih bantal tanpa guling.
Aku kebingungan. Mencoba tidur tapi sulit. Mungkin sekitar 5 menit aku mencoba untuk menidurkan badanku ini.

Tangan kanan Vania tiba tiba bergerak. Aku sulit melihat karena gelap, tapi aku bisa merasakannya
Dia meraba raba badanku, sampai akhirnya mendarat di tangan kananku.

Diambilnya tangan kananku, dia mengajak tangan kananku ke badannya. Lalu menuntunya untuk memeluk dia. Tanganku dimasukkan ke celah antara guling dan perutnya.

Tangan kananku sudah mendarat di perutnya. Mau tidak mau aku juga harus memiringkan badanku. Vania tidak mau memberikan gulingku, tapi dia bersedia menjadi gulingku.

Perutnya rata. Tidak ada lemak. Sempurna. Lalu kucubit pelan.

Dia menggerutu lagi, “Hmmmmmmmm”

Hampir lama kami dalam posisi itu. Awkward.

Terlebih tanganku sedikit menempel ke payudaranya. Hanya sedikit, tapi aku bisa merasakan kelembutan dan kekenyalan itu. Serta posisi barang berhargaku juga menempel dengan pantatnya.

“Bang, rasa rasanya kok aku capek ya tidur terus” My little-big brother terbangun dari tidurnya
“Woy jangan sekarang dong!” Dengan cepat aku memarahinya
“Udah telat, bang!”

Gawat. Aku dan Vania menempel erat. Sedikit banyak, dia akan merasakan gumpalan keras di pantatnya. Apalagi aku dan Vania sama sama hanya menggunakan boxer.

Secara reflek aku menarik tanganku, dengan niat melepaskan pelukanku dan berganti posisi menjadi membelakangi Vania.

*deg*

Tangan Vania menahan tanganku, diarahkan lagi untuk memeluknya. My little-big brother sudah terbangun penuh. Aku pasrah. Yang hanya memberikan jarak antara aku dan Vania adalah dia. That little bastard which is my valuable item.

Vania sedikit menggelinjang. Pantatnya menyenggol penisku.

“Bang, gerah nih” Adikku sudah meronta

Adikku bingung. Aku lebih bingung lagi.

“Dhit?” Suara Vania mengagetkanku
“Ehhhh. Emmm. Apa, Van?” Aku gugup

Dia membuang tangan kananku. Dengan cepat dia berbalik ke arahku.

Bibirku dicium olehnya.

Karena masih kaget dan harus mencerna apa yang sedang terjadi, masih belum bisa membalas ciuman Vania.

Dia lalu bangun sedikit dan sekarang sudah berada di atasku. Saat ini posisinya seperti orang sedang planking, tapi menungging.
Aku akhirnya tidak tinggal diam, kubalas ciumannya, sambil kubelai rambut pendeknya.

“YEEEES. MANTAP. LANJUTING BANG!” Adikku riang. Dia sangat bersemangat

Keadaan ini membuatku bingung, serta bernafsu. Aku sudah tidak peduli
Ciuman Vania ku balas. Aku tidak mau kalah
Tidak lama Vania bangun, melepaskan bibirnya. Dia turun dari kasur

“Lah. Gitu aja?” Tanyaku keheranan

Dia diam dan terus berjalan. Rupanya dia hanya menyalakan lampu

“Gak keliatan apa apa. Gak enak”

Dia menaiki kasur lagi. Sampai akhirnya duduk di pahaku

“Do it” Senyumannya binal

Tak butuh waktu lama, kutarik dia hingga menempel di badanku. Bibir kami beradu lagi.
Lalu kami berguling. Sekarang dia berada di bawahku
Leher jenjang dan putih itu langsung menjadi sasaranku. Kubuat basah dengan bibirku. Tak lupa juga aku memainkan payudara Vania yang masih terbungkus rapi.

“Hngghh” Vania mendesah pelan

Kusingkap tanktop Vania. Sekarang tertampang indah payudara yang terbungkus bra hitam.
Vania paham. Dia menaikkan sedikit punggungnya. Membantuku untuk membuka kaitan yang membelenggu payudaranya.

Voila!


Dua mainan favorit lelaki normal sudah bebas. Mainan itu putih, kenyal, dengan puting yang berwarna pink. Indah!
Vania tanpa dikomando sudah melepas sendiri boxer dan CD nya.
Aku mencumbu bulatan indah itu tanpa ampun. Tak lupa juga aku memberikan sentuhan ke harta karun di bawah sana yang berambut jarang.

Pelan. Pelan. Semakin lama jariku semakin cepat. Berulang seperti itu terus. Pelan – Pelan – Cepat – Cepat – Sangat Cepat – Pelan – Pelan.

“Enghhh ENGHHHHH enghhhh” Erangan Vania semakin tak menentu. Semua gara gara gerakan jariku yang tak jelas temponya.
“Kok udah basah?” Godaku sambil mencium bibirnya
“Dhit, DHITOOO” Tangan kanan Vania meremas rambutku. Tangan kirinya meraba raba adikku.

Mereka bertemu. Lalu diusapnya pelan. Hingga akhirnya meremas remas. Aku juga tak tahan.
Aku turun dari kasur. Segera kubuang boxer dan CD ku. Kini hanya kaos yang menempel di badanku
Dari pinggir kasur, kuhadapkan adikku ke muka Vania. Dengan jari jari ku yang masih melanjutkan aktivitasnya di pojok sana

“Salaman dulu dong”
“Aaah” Vania hanya mendesah

Adikku dipijat pelan. Hangat.

Sebentar saja aku segera merasakan rasa hangat dan licin. Adikku sudah bermandikan air liur.
Mulut Vania meliar. Maju mundur tak beraturan, dan tak ada satu gigi yang menyenggol adikku.
Jariku masih beraktivitas, malahan kini semakin bekerja keras. Niatku hanya satu, membuat Vania squirt terlebih dahulu.
Tangan kanan beraktivitas di bawah, sedang tangan kiri beraktivitas di atas. Takkan kubiarkan ke dua tanganku berdiam diri

“Ahh ayo terus, Van. Gak nyangka kamu jadi gila kaya gini ya”
“Emmmmmm” Vania tidak bisa menjawab. Hanya erangan yang tertahan oleh adikku yang bisa keluar dari mulutnya.

Adikku dilepas olehnya.

“Enghh, Dhit. Parah. Aku udah mau keluar. Arghhh”

Aku tidak peduli. Kupercepat tempo jariku

“Dhit, Dhit. Sumpah. Dhit. ARGHHH”

Aku melepas jari jari ku dan segera aku naik ke kasur. Tidak lama aku sudah di atas Vania lagi.
Vania yang hampir lemas membuka kakinya lebar lebar, memperlihatkan vagina yang tembem dan tidak dipenuhi bulu.

Adikku sudah bersiap di posisi tempur.

“Gas. Sikat, bang!” Seru adikku yang sangat bersemangat

Aku juga tidak tahan. Kubenamkan adikku ke lubang surga duniawi milik aparat ini.

“AGH” Vania sedikit berteriak.

Kumaju mundurkan pahaku. Tidak sulit, karena Vania sudah basah karena tanganku.
Payudara Vania tak luput dari perhatianku. Kulihat mereka bergerak naik turun.
Sebelah kiri langsung aku lahap, sedang yang satunya aku mainkan menggunakan tanganku.

“Ahh, Dhit. Dhitooo.” Vania meracau sambil memainkan rambutku. “Aku udah mau keluar”.

Aku tidak peduli. Malahan makin kupercepat gerakanku.

“DHITOOOOO HNGGGHHGHHG”



Kusumpal bibirnya menggunakan bibirku

Dia mencoba berteriak.
Hanya erangan yang keluar dari mulutnya

Kurasakan adikku sudah basah, dan vaginanya makin licin.
Tangan Vania menggenggam kasur dengan erat. Rupanya dia sudah keluar

Aku mengeluarkan adikku dari dalam badan Vania.
Dia protes, “Segitu doang, bang? Belum lega nih”.
“Sabar, bangsat”. Aku mencoba mengendalikan adikku.

“Dhit, kok jadi gini sih?” Vania bertanya pelan. Nafasnya masih putus putus. Tidak lama dia tersenyum. Senyuman itu seakan menutupi rasa bersalahnya dengan kenikmatan yang telah dia raih.
“Khilaf” Ujarku bercanda “Eh, tapi aku belum keluar, Van. Gimana dong?”

Aku turun dari kasur dan mengangkat tubuh Vania

“Eh eh, Dhit. Mau ngapain?” Vania keheranan. Dia mencoba menahan aku, tapi gagal karena lelah

Aku diam. Kuangkat tubuh Vania. Sekarang Vania sudah dalam posisi menungging di pinggir kasur. Aku membuka tanktop dan bra nya. Vania pasrah, bahkan membantuku.
Tak lupa juga aku membuang kaosku.

Sekarang kami berdua sudah tidak berbusana. Sebuah hal yang terakhir kami lakukan ketika aku masih berumur 5 tahun dan dia masih berumur 4 tahun, ketika kami mandi bersama.

“Dhit, aku capek. Gak kuat” Vania memelas, tapi dia diam pasrah di posisi tersebut
“Kan aku bilang aku belum keluar” Aku berbisik lembut di telinga Vania sambil memasukkan jariku lagi ke vagina Vania
“Dhito. Ahhhh”

Aku sedikit membuka kaki Vania. Kini kubiarkan mulutku bermain di vaginanya.
Lidahku meliar. Menusuk nusuk lembut daging biadab tersebut. Sesekali menabrakan mulutku ke G-Spot nya.

Vania menggelinjang. Kakinya makin melebar

“Dhito. Ahh. Hngggg. Kita kan sepupu”

Aku tidak peduli. Lust really is blinding.

Adikku masih segar bugar. Bersiap berpetualang di dalam vagina Vania.
Kuremas sedikit pantat Vania.

*bles*

“Ahhh, Dhit. Suka suka, deh!”

Vania bertumpu pada pinggiran kasur. Sedang pinggulku mulai bergerak maju mundur.
Vagina Vania yang masih licin memudahkan adikku dalam petualangannya.

Vania hanya mengerang pelan dan lembut. Membuatku makin bernafsu.

Kini ke dua tanganku berpegangan pada payudara Vania.
Aku memainkannya sesuka hati. Tidak membiarkan mereka bergerak bebas

Hampir lama kami dalam posisi itu. Aku tidak tau. Vania juga. Kami tidak sempat melihat jam. Yang kami pikirkan saat itu hanya kenikmatan.
Lalu tibalah saat adikku menyerah. Dia sudah lelah. Sudah tidak bisa melanjutkan petualangannya

Tempo goyangan sudah maksimal. Vania hanya meringis
Tidak lama, dia keluar lagi.

“Aku keluar lagi, Dhit. Ahh. Ah. Ah. Dhito. Gak tahan. Capek. Hnggg, Ahhhh”
“Bentar lagi nih. Keluarin. Di. Mana. Van. Hnggg” Konsentrasiku buyar. Hanya terfokus pada adik dan vagina Vania.
“Muka aja biar gampang bersihinnya”

Adikku sudah di puncak kelelahan. Aku keluarkan dia dari tempat barunya.
Vania langsung membalikkan badannya. Mengarahkan adikku ke mukanya. Lalu dengan lembut dia mengocok adikku.
Bekas cairannya memudahkan dia dalam melaksanakan tugas terakhirnya. Tak sadar aku mengerang

“Enghhhh, Van!”

*crot*

Muka cantik Vania kini penuh oleh calon anak anakku yang terbuang.
Aku masih tersengal sengal. Sedang Vania masih membersihkan adikku sambil memijatnya dengan lembut.

“Dhito. Kita ini sepupu. Terus sekarang mukaku banyak spermamu” Masih saja Vania menutupi rasa penyesalan dengan senyum kenikmatan itu.
“Diulang terus, reeek” Balasku sambil meremas payudaranya.
“Thanks, Dhit” Vania tersenyum binal


Aku hanya membalas dengan senyuman puas.
Vania berdiri dan beranjak keluar dari kamar

Aku berbaring di kasur. Perasaanku puas.
Serta kebingungan.

“What the fuck? Is this real? Or is it just fantasy?”

Aku sangat bingung, tapi tidak peduli.

“Yaudah sih, bang. Santai aja. Asal enak ini kan? Aku tidur dulu ya, bang. Dadah”
“Iya juga sih, bro. Bodo amat deh ya”

Kulihat Vania sudah kembali. Mukanya masih basah
Dan masih tidak berbusana

Sungguh, Vania terlihat sangat sexy. Badannya sangat sempurna. Putih, bersih, tidak ada cacat sama sekali. Mengingat dia adalah seorang aparat.
Aku melamun melihatnya.

“Tadi padahal udah jungkir balik sama aku. Kenapa sekarang keliatan kaget gitu liat aku gak pakai baju?”
“Emang bener, ya. Ternyata badan aparat itu selalu bagus haha”

Vania hanya mengernyitkan dahinya.
Aku beranjak dari kasur dan mendekati dia.

“Cium dulu dong” Aku menggoda Vania sambil menyodorkan pipiku

*plak*

“Asu. Malah ditampar”

Vania berjalan menuju kasur lalu merebahkan tubuhnya.
Aku mencari pakaianku yang tadi berserakan. Lalu segera kupakai kaos yang sudah terlempar di pojok kamar.

“Eh. Gak usah dipake lagi kaosnya”
“Lah. Ngapain, Van” Tanyaku keheranan
“Kamu gak mau naked cuddling?” Kedipan mata itu menggodaku
“Nice idea!”

Aku mematikan lampu dan berjalan ke kasur. Merebahkan tubuhku disampingnya.

“Kok kita gini sih, Dhit?”
“Ya siapa dulu yang mulai jancok”
“Hihihihihi kok kasaaaaar” Suara lembutnya berusaha menggodaku

Vania memiringkan tubuhnya, dan memeluk tubuhku.
Kini badan kami menempel lagi, tanpa ada sehali benang. Payudaranya yang kenyal menempel erat dengan dada sebelah kiriku.
Aku tidak peduli. Aku lelah, begitu pun adikku.

Kuambil handphone di meja. Kulihat jam sudah menunjukkan jam setengah 3 pagi.
Selama itu kami berpetualang mencari puncak kenikmatan.

“Dhito, ayo tidur” Vania menciumiku.
“Iya iya”

Vania makin erat memelukku. Tanganku juga makin erat merangkulnya.

Tak lama, kami pun tertidur. Tenggelam di lautan mimpi yang tidak ada habisnya.

Bersambung : Siap, Laksanakan! Chapter 3